Setiap pagi, kulihat bapak tua itu duduk di halte bersama barang-barang bekas yang selalu ia kumpulkan, botol plastik, kardus bekas, termasuk koran-koran bekas. Aku sangat simpati sekaligus kagum dengan bapak tua pengumpul barang bekas itu. Betapa tidak, setiap pagi, dia duduk di halte membaca koran-koran bekas. Walaupun berita-berita yang dibacanya telah lewat, tapi ia begitu bersemangat membacanya, seperti tidak ingin terlewatkan oleh berita-berita di koran-koran bekas tersebut.
Suatu hari, aku tergerak ingin menyapanya. Ah... Sungguh teduh wajahnya ketika kulihat dari dekat. Aku berbincang-bincang sebentar dengannya. Aku berdecak kagum. Walaupun jarak rumahnya jauh di pinggiran kota Jakarta, tetapi ia masih mempunyai semangat menuju pusat kota Jakarta untuk berusaha agar tetap dapat menghidupi keluarganya. Semua itu ia lakukan karena cintanya pada keluarga.
Karena waktu beranjak siang, aku harus segera bergegas menuju tempat aktivitas sehari-hari. Sebelum pergi meninggalkannya, kusisihkan sedikit rizki untuk sekedar membantunya. Ketika menerima pemberianku, bapak tua itu mengucapkan terima kasih dan berdo'a dengan khusyu-nya. Betapa terharu diri ini ketika mendengar do'a-do'a yang terucap dari bibirnya terlantun untukku.
Dalam perjalanan, aku merenung tentang perjuangan bapak tua itu. Segala yang ia kerjakan, ia lakukan bukan hanya untuknya semata, semuanya ia lakukan dengan penuh cinta untuk sebuah cinta bagi keluarganya. Senyum dan sapanya untukku adalah saksi betapa bapak tua itu sangat mengagungkan cinta walaupun mungkin terlalu sangat sederhana.
Minggu, 30 Maret 2008
Selasa, 25 Maret 2008
JANGAN SEDIH, SAYANG
Raut wajahnya kembali meredup. Dan hal ini selalu terjadi di saat dia dan saudara-saudara sepupunya sedang berkumpul. Salsa, anakku, dia baru berumur 3 tahun 4 bulan. Memang sedikit terpaut jauh dengan saudara-saudara sepupunya yang berumur 12 tahun, 10 tahun, 9 tahun, dan 8 tahun. Ketika mereka berkumpul, secara otomatis mereka berempat membuat kelompok bermain sesuai dengan umur mereka. Kelompok Sang Kakak dan Kelompok Sang Adik, yang tidak memasukkan Salsa ke dalamnya. Secara umur berbeda, macam permainan pun berbeda. Sehingga, merasa tersisihkan itu ada dalam dirinya. Ketika sang kakak-kakaknya pun tidak ingin diganggu olehnya, khususnya Kelompok Sang Adik.
Aku bukan tidak merasakan redupnya. Mungkin aku adalah orang yang paling merasakan apa yang dia rasakan. Aku sering berkata sendiri, membisikkan kata-kata untuknya, dari jauh. Tak tahu dia mendengar bisik itu atau tidak tapi aku sangat yakin hati kami berbicara.
“Sabar Ya, Sayang”
Meski, akupun tak bisa berharap banyak padanya sejauh mana dia bisa bersabar. Karena tangis itu akhirnya hadir menghiasi redupnya. Seakan mengeluarkan isi hatinya. Dan sudah menjadi tugasku untuk menenangkan dan membesarkan hatinya.
“Sa, apa yang Salsa rasain ketika Kak Isma dan Kak Ida bermain bersama.” Tanyaku ketika kami sedang bersama di lain waktu
“Sedih, Mi.” Jawabnya singkat. Dan itu menggambarkan isi hatinya.
Dan aku hanya bisa berkata,
“Sabar Ya, Sayang”
Bukannya aku tak ingin menolongmu dalam situasi ini. Bukan juga aku tak ingin membelamu. Bagiku bisa saja, mengingatkan sang kakak untuk bersikap baik padamu atau mengharuskan mereka mengikutsertakan dirimu dalam setiap permainan mereka.
Namun, kelak kau akan mengerti. Aku sedang mengajarkan dirimu arti berbagi dan senantiasa peduli pada orang lain, arti ketegaran dan kekuatan diri yang berujung sabar. Meski aku tahu, dirimu masih kecil. Tapi bagiku hal ini harus kuajarkan padamu sedari kecil. Hingga kelak, kau akan mengerti. Dan tak akan kau biarkan dirimu melakukan hal yang sama seperti mereka memperlakukan dirimu. Karena kelak, kau akan besar dan ada sosok-sosok kecil yang menggantikan dirimu kini.
Jangan sedih lagi, sayang. Karena hidup ini terlalu singkat untuk kau lewati dengan kesedihan yang tak berarti. Gembiralah, dan buatlah kelompok baru dengan penuh kasih dan cinta.
Aku bukan tidak merasakan redupnya. Mungkin aku adalah orang yang paling merasakan apa yang dia rasakan. Aku sering berkata sendiri, membisikkan kata-kata untuknya, dari jauh. Tak tahu dia mendengar bisik itu atau tidak tapi aku sangat yakin hati kami berbicara.
“Sabar Ya, Sayang”
Meski, akupun tak bisa berharap banyak padanya sejauh mana dia bisa bersabar. Karena tangis itu akhirnya hadir menghiasi redupnya. Seakan mengeluarkan isi hatinya. Dan sudah menjadi tugasku untuk menenangkan dan membesarkan hatinya.
“Sa, apa yang Salsa rasain ketika Kak Isma dan Kak Ida bermain bersama.” Tanyaku ketika kami sedang bersama di lain waktu
“Sedih, Mi.” Jawabnya singkat. Dan itu menggambarkan isi hatinya.
Dan aku hanya bisa berkata,
“Sabar Ya, Sayang”
Bukannya aku tak ingin menolongmu dalam situasi ini. Bukan juga aku tak ingin membelamu. Bagiku bisa saja, mengingatkan sang kakak untuk bersikap baik padamu atau mengharuskan mereka mengikutsertakan dirimu dalam setiap permainan mereka.
Namun, kelak kau akan mengerti. Aku sedang mengajarkan dirimu arti berbagi dan senantiasa peduli pada orang lain, arti ketegaran dan kekuatan diri yang berujung sabar. Meski aku tahu, dirimu masih kecil. Tapi bagiku hal ini harus kuajarkan padamu sedari kecil. Hingga kelak, kau akan mengerti. Dan tak akan kau biarkan dirimu melakukan hal yang sama seperti mereka memperlakukan dirimu. Karena kelak, kau akan besar dan ada sosok-sosok kecil yang menggantikan dirimu kini.
Jangan sedih lagi, sayang. Karena hidup ini terlalu singkat untuk kau lewati dengan kesedihan yang tak berarti. Gembiralah, dan buatlah kelompok baru dengan penuh kasih dan cinta.
Langganan:
Postingan (Atom)